Welcome

Jumat, 18 Oktober 2013

Khulafa al-Rasyidin : Masa Ali ibn Abi Thalib

Diposting oleh Unknown di 08.52
PEMBAHASAN

Khulafa al-Rasyidin : Masa Ali ibn Abi Thalib
Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)

Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib

Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah. [1]
 Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Ibn umar dan Saad misalnya bersedia berbai’at kalau seluruh rakyat sudah berbai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara terpaksa. Riwayat lain menyatakan  mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama kaum Anshar dan Muhajirin yang meminta kepada Ali agar bersedia di bai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilyah-wilayah taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab dan luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di Masjid Nabawi, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatan sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah telah  menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang  menerangkan yang baik dan yang buruk maka hendaklah kamu ambil yang baik dan tinggalkan yang  buruk. Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharaman apa yang haram, dan memuliakan kehormatan seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah setiap muslim menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti di depan kamu dan orang yang di belakang kamu sekarang bisa membatasi, meringankan urusan kamu. Bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan negeri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk urusan tanah dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya. Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu melihat yang buruk, tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi” “Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana  yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah  bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”

Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

Ali adalah putra  Abi Thalib ibn Abdul Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi putri Nabi Muhammad, Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekkah dan tinggal dirumahnya.[2] Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan pria.
Mahmudunnasir menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator.[3] Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga menjadi penasihat pada zaman khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ia mengikuti hampir semua peperangan pada zaman Nabi Muhammad. Ia tidak sempat membai’at Abu Bakar, karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW. dan keturunan Nabi Muhammad berkelanjutan dari beliau
Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yg sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukan, diantaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam menjadi empat golongan, yakni :
1.       Pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah sebagai khalifah;
2.       Pengikut Ali, yang mengajukan Ali sebagai khalifah;
3.       Kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusannya kepada Allah
4.       Golongan yang berpegang pada prinsip jamaah, diantaranya Saad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan
5.       Ali sama-sama sebagai pemimpin.
Ali adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak didukung oleh para sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya termasuk Abdullah bin Saba, dan tidak ada seorangpun yang bersedia dicalonkan. Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun kemudian menerimanya demi kepentingan Islam pada tanggal 23 Juni 656 M. Alasan penolakan Ali karena ia selalu berpandangan bahwa, “Ada orang yang lebih baik daripadanya.”
                Yang pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan Negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, gubernur Mesir yang dijabat oleh Abdullah diganti oleh Qays, gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi menolak bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.



Konflik yang Terjadi dan Pengaruhnya Terhadap Pola Masyarakat Islam
                Pemerintahan Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi perang Jamal. Dikatakan demikian, karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali. Pemberontakan yang  kedua datang dari muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur Suriah, yang berakhir dengan perang Shiffin.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alasan bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Penolakan Khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekah, yang tidak tahu mengenai kematian Khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah tidak tahu mengenai kematian Khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah bergabung dengan thalhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman. Bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair.
 Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya sebatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas Khalifah di mata umat Islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan Khalifah berada di balik pembunuhan Khalifah Utsman.
Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran antara Khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Puluhan ribu Islam gugur pada peperangan.[4]
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu’awiyyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak ke Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan mu’awiyyah di Shiffin, sehingga pertempuran ini dikenal dengan nama “Perang Shiffin” yang terjadi pada tahun 37 H, yang hampir dimenangkan oleh khalifah Ali. Namun. Atas kecerdikan Mu’awiyyah yang dipimpin Amr bin Ash yang mengacungkan al-Qur’an dengan tombaknya yang mempunyai arti perdamaian. Akhirnya, terjadi peristiwa tahkim yang secara politis khalifah Ali mengalami kekalahan.

                Perang Nahawan terjadi pada tahun 21 H / 642 M. Dalam pertempuran ini. Pasukan Persia dapat ditaklukkan / ditundukkan secara mutlak. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan menjadi wilayah Pemerintahan Islam. Ketika Perang Nahawan orang-orang Persia mengepung umat Islam hingga berhari-hari. Umat Islam berusaha membuat strategi untuk keluar dari kepungan musuh. An-Nu’man berhasil melaksanakan strategi itu dengan cermat dan akurat yaitu dengan cara melempar musuh kemudian balik lagi. Dalam waktu yang sama, mereka mengikuti beliau dan mengejarnya. Beliau mundur mereka pun masih mengejarnya. Beliau bersikap seolah-olah hendak melarikan diri dari mereka. Hingga akhirnya pasukan musuh ikut mengejar semua kecuali penjaga. Disaat itulah umat Islam menyerang dan menghancurkan mereka.


Perkembangan Peradaban Islam
Tahkim dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial, Politik, dan Keagamaan

                Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim ternyata tidak menyelasaikan masalah. Bahkan, menyebabkan timbulnya golongan ketiga, yaitu: al-Khawarij (orang-orang yang meninggalkan Ali). Akibatnya diujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu : Mu’awiyyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij.
Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa pernyataan yang menuduh orang-orang yang terlibat Tahkim sebagai orang kafir, dan khawarij berpendapat bahwa Usman telah menyeleweng dari ajaran Islam, demikian pula denganAli.[5]

Akhir Hayat Ali Ibn Abi Thalib

                Penyelesaian kompromi Ali dengan Mu’awiyyah tidak disukai oleh kaum perusuh karena hal ini dapat membebaskan khalifah Ali untuk memusatkan perhatiannya kepada tugas untuk menghukum mereka. Kaum Khawarij berencana membunuh khalifah Ali, Mu’awiyyah dan Amr memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang dengan bebas dipilih dari seluruh umat Islam. Pengikut setia kaum Khawarij memberikan pukulan yang hebat kepada khalifah Ali sewaktu Beliau akan mengumandangkan adzan di Masjid dan pukulan itu menyebabkan khalifah Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 m). Dalam kisah lain diceritakan bahwa khalifah Ali wafat diakibatkan oleh pukulan pedang beracun milik Abdurrahman ibn Muljam.[6]


KESIMPULAN

Ali adalah putra Abi  Thalib Ibn Abdul Muthallib. Yang pertama dilakukan oleh Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Menarik kembali, semua tanah dan hibah yang telah dibagian oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara.
Ali Ibn Abi Thalib menghadapi pemborantakan Talhah, Zubair  dan Aisyah. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Namun akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Dengan nama perang Unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Talhah terbunuh. Sedangkan Aisyah dikirim kembali ke Madinah.
Di ujung masa pemerintahan Abi Thalib, menjadi tiga kekuatan politik yaitu Muawiyah, Syiah (pengikut) Ali, al-Khawarij (Orang-orang yang keluar dari barisan Ali).





[1] Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : PT. Pustaka Setia, 2008, hlm. 93,94,95
[2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 50

[3] Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : PT. Pustaka Setia, 2008, hlm. 93-101

[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 50

[5] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 77
[6] Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : PT. Pustaka Setia, 2008, hlm. 93-101

0 komentar:

Posting Komentar

 

Saleha's blogger © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor