PEMBAHASAN
Khulafa al-Rasyidin : Masa Ali ibn Abi
Thalib
Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Pengukuhan
Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya.
Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar
bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum
pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari
sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat
mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak
terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi
khalifah. [1]
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari
Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair,
tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin
Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan
Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at
Ali. Ibn umar dan Saad misalnya bersedia berbai’at kalau seluruh rakyat sudah
berbai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara
terpaksa. Riwayat lain menyatakan mereka
bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan
Bashrah. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama
kaum Anshar dan Muhajirin yang meminta kepada Ali agar bersedia di bai’at
menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,
kecuali memilih Ali.
Dengan
demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak
sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di
wilyah-wilayah taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota
Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah,
dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab dan luarnya. Salah seorang
tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif
adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang
dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.
Setelah
Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di Masjid Nabawi, ia menyampaikan
pidato penerimaan jabatan sebagai berikut.
“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan kitab suci
Al-Qur’an sebagai petunjuk yang
menerangkan yang baik dan yang buruk maka hendaklah kamu ambil yang baik
dan tinggalkan yang buruk.
Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga.
Sesungguhnya Allah telah mengharaman apa yang haram, dan memuliakan kehormatan
seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan
keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah setiap muslim menyelamatkan
manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang
muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melaksanakan urusan
kepentingan umum. Sesungguhnya (urusan) manusia menanti di depan kamu dan orang
yang di belakang kamu sekarang bisa membatasi, meringankan urusan kamu.
Bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan
negeri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab (dalam segala urusan) termasuk
urusan tanah dan binatang (lingkungan). Dan taatlah kepada Allah dan jangan
kamu mendurhakainya. Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu
melihat yang buruk, tinggalkanlah. Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit
lagi tertindas di muka bumi” “Wahai manusia, kamu telah membai’at saya
sebagaimana yang kamu telah lakukan
terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak
sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak
boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at
terhadap diri saya ini adalah bai’at
yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari
agama Islam.”
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali
adalah putra Abi Thalib ibn Abdul
Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. yang kemudian menjadi menantunya
karena menikahi putri Nabi Muhammad, Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah
sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekkah dan tinggal dirumahnya.[2] Ia
masuk Islam ketika usianya sangat muda termasuk orang yang pertama masuk Islam
dari golongan pria.
Mahmudunnasir
menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan
pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator.[3] Ia
juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga menjadi penasihat pada zaman
khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ia mengikuti hampir semua peperangan pada
zaman Nabi Muhammad. Ia tidak sempat membai’at Abu Bakar, karena sibuk mengurus
jenazah Rasulullah SAW. dan keturunan Nabi Muhammad berkelanjutan dari beliau
Menurut
Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yg sedang
mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukan, diantaranya Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan
menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam menjadi empat golongan, yakni :
1.
Pengikut
Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman dan mengajukan Muawiyah
sebagai khalifah;
2.
Pengikut
Ali, yang mengajukan Ali sebagai khalifah;
3.
Kaum
moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusannya kepada Allah
4.
Golongan
yang berpegang pada prinsip jamaah, diantaranya Saad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub
Al-Anshari, Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan
tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan
5.
Ali
sama-sama sebagai pemimpin.
Ali
adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak didukung oleh para
sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Utsman mendukungnya
termasuk Abdullah bin Saba, dan tidak ada seorangpun yang bersedia dicalonkan.
Asal mulanya, Ali menolak pencalonan dirinya, namun kemudian menerimanya demi
kepentingan Islam pada tanggal 23 Juni 656 M. Alasan penolakan Ali karena ia
selalu berpandangan bahwa, “Ada orang yang lebih baik daripadanya.”
Yang pertama dilakukan Khalifah
Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman
kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan Negara dan mengganti semua gubernur
yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti
Utsman bin Hanif, gubernur Mesir yang dijabat oleh Abdullah diganti oleh Qays,
gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi menolak
bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Konflik yang Terjadi dan Pengaruhnya Terhadap Pola
Masyarakat Islam
Pemerintahan Khalifah Ali dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan
dari sekelompok kaum muslimin sendiri. Pemberontakan pertama datang dari
Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi perang Jamal.
Dikatakan demikian, karena Siti Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam
perang melawan Ali. Pemberontakan yang
kedua datang dari muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan bahkan
menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai
gubernur Suriah, yang berakhir dengan perang Shiffin.
Pemberontakan
pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alasan
bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh
Khalifah Utsman. Penolakan Khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyah yang
merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekah, yang tidak tahu mengenai
kematian Khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju
Bashrah. Siti Aisyah tidak tahu mengenai kematian Khalifah Utsman, sementara
Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrah. Siti Aisyah bergabung dengan
thalhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali
menghukum pembunuh Utsman. Bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan
Abdullah bin Zubair.
Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan
ini, tetapi hanya sebatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas Khalifah di
mata umat Islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan Khalifah berada di
balik pembunuhan Khalifah Utsman.
Khalifah
Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan mengajukan
kompromi, tetapi beliau tidak berhasil sampai akhirnya terjadi pertempuran
antara Khalifah Ali bersama pasukannya dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
bersama pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair
terbunuh ketika hendak melarikan diri dan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Puluhan ribu Islam gugur pada peperangan.[4]
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
gubernur di Damaskus, Mu’awiyyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil
memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak ke Kufah
menuju Damaskus dengan sejumlah tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan
mu’awiyyah di Shiffin, sehingga pertempuran ini dikenal dengan nama “Perang
Shiffin” yang terjadi pada tahun 37 H, yang hampir dimenangkan oleh khalifah
Ali. Namun. Atas kecerdikan Mu’awiyyah yang dipimpin Amr bin Ash yang
mengacungkan al-Qur’an dengan tombaknya yang mempunyai arti perdamaian. Akhirnya,
terjadi peristiwa tahkim yang secara politis khalifah Ali mengalami kekalahan.
Perang Nahawan terjadi pada tahun 21 H / 642 M. Dalam pertempuran ini. Pasukan Persia dapat ditaklukkan / ditundukkan secara mutlak. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan menjadi wilayah Pemerintahan Islam. Ketika Perang Nahawan orang-orang Persia mengepung umat Islam hingga berhari-hari. Umat Islam berusaha membuat strategi untuk keluar dari kepungan musuh. An-Nu’man berhasil melaksanakan strategi itu dengan cermat dan akurat yaitu dengan cara melempar musuh kemudian balik lagi. Dalam waktu yang sama, mereka mengikuti beliau dan mengejarnya. Beliau mundur mereka pun masih mengejarnya. Beliau bersikap seolah-olah hendak melarikan diri dari mereka. Hingga akhirnya pasukan musuh ikut mengejar semua kecuali penjaga. Disaat itulah umat Islam menyerang dan menghancurkan mereka.
Perkembangan Peradaban Islam
Tahkim dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial,
Politik, dan Keagamaan
Konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim ternyata tidak menyelasaikan masalah. Bahkan, menyebabkan timbulnya golongan ketiga, yaitu: al-Khawarij (orang-orang yang meninggalkan Ali). Akibatnya diujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu : Mu’awiyyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij.
Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa pernyataan yang menuduh orang-orang yang terlibat Tahkim sebagai orang kafir, dan khawarij berpendapat bahwa Usman telah menyeleweng dari ajaran Islam, demikian pula denganAli.[5]
Akhir Hayat Ali Ibn Abi Thalib
Penyelesaian kompromi Ali dengan Mu’awiyyah tidak disukai oleh kaum perusuh karena hal ini dapat membebaskan khalifah Ali untuk memusatkan perhatiannya kepada tugas untuk menghukum mereka. Kaum Khawarij berencana membunuh khalifah Ali, Mu’awiyyah dan Amr memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang dengan bebas dipilih dari seluruh umat Islam. Pengikut setia kaum Khawarij memberikan pukulan yang hebat kepada khalifah Ali sewaktu Beliau akan mengumandangkan adzan di Masjid dan pukulan itu menyebabkan khalifah Ali wafat pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 m). Dalam kisah lain diceritakan bahwa khalifah Ali wafat diakibatkan oleh pukulan pedang beracun milik Abdurrahman ibn Muljam.[6]
KESIMPULAN
Ali adalah putra
Abi Thalib Ibn Abdul Muthallib. Yang pertama dilakukan oleh Ali ialah
menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Menarik kembali, semua tanah dan
hibah yang telah dibagian oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam
kepemilikan negara.
Ali Ibn Abi Thalib menghadapi pemborantakan Talhah,
Zubair dan Aisyah. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Namun
akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Dengan nama perang Unta. Ali
berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Talhah terbunuh. Sedangkan Aisyah
dikirim kembali ke Madinah.
Di ujung masa pemerintahan Abi Thalib, menjadi tiga
kekuatan politik yaitu Muawiyah, Syiah (pengikut) Ali, al-Khawarij (Orang-orang
yang keluar dari barisan Ali).
0 komentar:
Posting Komentar