BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidik (Guru) merupakan salah satu hal terpenting
dalam proses pendidikan. Tugas guru sebagai pendidik merupakan hal yang sangat
mulia di sisi Allah SWT dan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Tapi
penghargaan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru yang bekerja secara
tulus dan ikhlas dalam mengajar peserta didiknya, atau bisa disebut juga guru
tersebut bekerja secara professional.
Guru bukan hanya mengajarkan materi saja kepada anak
didiknya. Tapi juga membimbing mereka menjadi murid yang mempunyai akhlak
mulia. Serta guru juga menjadi motivator bagi peserta didiknya. Motivasi sangat diperlukan sebagai
respon terhadap tugas dan tanggung jawab guru sebagai pendidik, pengajar
dan pelatih dalam mencapai tujuan pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
Definisi Guru dalam Pespektif Islam?
2. Bagaimana
Kedudukan Guru dalam Perspektif Islam?
3. Sebutkan
Ciri-ciri dan Karakteristik Pandidik yang Baik !
4. Sebutkan
Syarat menjadi Pendidik !
5. Bagaimana
Tugas Guru dalam Perspektif Islam?
6. Jelaskan
tentang Kode Etik Guru dalam Pespektif Islam!
C.
Tujuan
1.
Bahan Diskusi Kelas
2.
Sebagai Tugas Terstruktur Mata
Kuliah Landasan Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sebagai teori Barat, pendidik dalam islam adalah
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya
dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif
(rasa), kognitif (cipta), dan psikomotorik (karsa).[1]
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung
jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi
tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan
khalifah Allah SWT. Mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.[2]
Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua
sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan dan perkembangan
anaknya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung pengasuh, perhatian, dan
pendidiknya. Firman Allah SWT :
ياايهاالذينءامنواقواأنفسكم وأهليكم نارا
“Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Q.S. Al-Tahrim :6)
B.
KEDUDUKAN
PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik
yang memberikan santapan jiwa dengan
ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku buruknya. Oleh karena
itu, pendidik mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam. Dalam hadits Nabi
Muhammad SAW disebutkan: “Tinta seorang ilmuan (yang menjadi guru) lebih
berharga daripada darah pada syuhadah”. Bahkan Islam menempatkan pendidik
setingkat dengan derajat seorang Rasul. Al-Syawki[3]
bersyair :
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan,
seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul”.
Pendidik adalah bapak rohani begi peserta didik yang
memberikan ilmu, pembinaan akhlaq mulia, dan memperbaiki akhlaq yang kurang
baik. Kedudukan tertinggi pendidik dalam Islam tertuang dalam teks
كن عالما او متعلما او سامعا
او محبا، ولا تكن خا مسا حتى تهلكة
“Jadilah
engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta dan janganlah
kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak.”
C. CIRI-CIRI
DAN KARAKTERISTIK PENDIDIK YANG BAIK
Ciri pendidik mesti
memiliki sikap dan sifat dewasa . Pribadi dewasa dalam perspektif Pendidikan
Islam dan layak menjadi pendidik, menurut Wens Tanlain, dkk (1992:29). Pribadi
dewasa adalah pribadi yang memiliki susila daan karakteristik sebagai berikut:
1.)
Mempunyai
individualitas yang utuh
2.)
Mempunyai
sosialitas yang utuh
3.)
Mempunyai
norma kesusilaan, nilai-nilai kemanusiaan
4.)
Bertindak
sesuai dengan norma dan nilai-nilai atas tanggung jawab sendiri demi
kebahagiaan mayarakat dan orang lain.
D.
SYARAT MENJADI PENDIDIK
Agar pendidik dapat melaksanakan tugas dengan
baik, maka ia membutuhkan beberapa syarat yang mesti dimiliki, diantaranya :
a.
Mempunyai
ijazah formal
b.
Sehat
jasmani dan rohani
c.
Berakhlak
yang baik
d.
Memiliki
pribadi mukmin, muslim, dan muhsin
e.
Taat
untuk menjalankan agama
f.
Memiliki
jiwa pendidik dan rasa kasih saying kepada anak didiknya dan ikhlas jiwanya
g.
Mengetahui
dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang keguruan terutama didaktik dan metodik
h.
Menguasai
ilmu pengetahuan agama
i.
Tidk
mempunyai cacat rohaniah dan jasmaniah ( Abu Ahmadi, 1986: 49 )
Sedangkan
dalam UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 disebutkan di dalam Pasal 28 ayat (2), bahwa:
“Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga didik yang bersangkutan
harus beriman dan bertaqwa.
E.
TUGAS
PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam paradigma Jawa, pendidikan diidentikan dengan
guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya)
karena guru memiliki seperangkat ilmu ynag memadai, yang kerenanya ia memiliki
wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru
(diikuti) karena guru memiliki kepribadiaan yang utuh, yang karenanya segala
tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta
didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar mentransformasikan
ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu mengiternalisasikan ilmunya pada peserta
didiknya.
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik
tidak hanya bertugas pengajar, yang mendoktrin peserta didiknya untuk mengusai
seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai
motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta
didiknya, sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas
dari pendidiknya. Seorang pendidik juga harus mampu memainkan peranan dan
fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya
benturan fungsi dan perannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan
sebagai individu, anggota masyarakat, warga Negara, dan pendidik sendiri. Jadi,
antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidkan dapat disimpulkan
menjadi tiga bagian, yaitu:[4]
1. Sebagai
pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakam program ynag telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian setelah program dilakukan (evaluasi).
2. Sebagai
pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkatan kedewasaan
dan berkepribadiaan kamil (sempurna)seiring dengan tujuan Allah SWT yang
menciptakannya.
3. Sebagai
pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, peserta didik
dan masyarakat yang terkait , terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya
pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrol, dan partisipasi atas
program pendidikan yang dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk
mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip
keguruan itu dapat berupa : (1) Kesediaan untuk mengajar seperti
memperhatikan kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik. (2)
menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik. (3) mengatur proses
belajar yang baik. (4) memperhatikan perubahan-perubahan dan kecenderungan yang
mempengaruhi proses belajar peserta didiknya.
F.
KODE
ETIK PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik,
orang tua peserta didik, serta dengan atasanya. Suatu jabatan yang melayani
orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatn pendidik mempunyai
kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik.
Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara
intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap
kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.[5]
Dalam merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih
menekankan betapa berat kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta
didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 15 bagian, sementara kode etik
peserta didiknya hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam konteks ini
menjadi segala-galanya,yang tidak saja menyangkut keberhasilannya dalam
menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga tanggung jawabnya di hadapan Allah
SWT kelak. Adapun kode etik pendidik yang dimaksud adalah:
1. Menerima
segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah
2. Bersikap
penyanun dan penyayang
3. Menjaga
kewibawaan dan kehormatan
4. Menghindari
dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama
5. Bersifat
rendah hati ketika berada di sekelompok masyarakat
6. Menghilangkan
aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia
7. Bersifat
lemah lembut dalaam menghadapi peserta didiknya yang tingkat IQ-nya rendah,
serta membinanya sampai pada tingkat maksimal
8. Meninggalkan
sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya
9. Memperbaiki
sikap peserta didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang
kurang lancar bicaranya
10. Meninggalkan
sifat yang menakutkan bagi peserta didiknya, terutama kepada peserta didik yang
belum mengerti dan mengetahui
11. Berusaha
memerhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didiknya, walaupun pertanyaan itu
tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan
12. Menerima
kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya
13. Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik
14. Mencegah
dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan
15. Menanamkan
sifat ikhas pada peserta didiknya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
Islam, orang yang pertama bertanggung jawab adalah ayah dan ibu (orang tua),
tapi seiring berkembangnya dan kemajuan zaman tugas itu diserahkan kepada pihak
lembaga pendidikan yang bertugas sebagai pendidik kedua setelah orang tua, dan
pada intinya baik orang tua, maupun tenaga pendidik adalah membimbing anak
didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tujuan pendidikan
yang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yakni menjadi insan kamil.
Dalam paradigma Jawa,
pendidikan diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan
ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu
ynag memadai, yang kerenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki
kepribadiaan yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan
panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan
bahwa tugas guru tidak sekadar mentransformasikan ilmu, tapi juga bagaimana ia
mampu mengiternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
§ Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
§ Suryoubroo
B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan,
Jakarta : Bina Aksara, 1983.
§ Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
§ Roestiyah
NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta
: Bina Aksara, 1982.
§ Westy
Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar dan
Teori Pendidikan Dunia Surabaya, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
§ Suyanto,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2006.
[1]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h.74-75
[2]
Suryoubroo B., Beberapa Aspek Dasar
Kependidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1983), h.26
[3]
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1987), h. 135-136
[4]
Roestiyah NK, Masalah-masalah Ilmu
Keguruan, (Jakarta : Bina Aksara, 1982), h.86
[5]
Westy Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar
dan Teori Pendidikan Dunia (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h.147
0 komentar:
Posting Komentar